Laporan Praktikum

Jumat, 01 November 2013

Asbabun Nuzul



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah Saw. dalam kurun waktu sekitar 23 tahun. Adapun tujuan diturunkannya kitab suci ini adalah untuk mengeluarkan dan menyelamatkan manusia dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya kebenaran Islam.
Kebanyakan ayat dan surat Al-Quran diturunkan untuk memberikan petunjuk serta kebahagian bagi umat manusia pada masa itu dan masa yang akan datang. Sebagian dari ayat Al-Qur’an, ada yang diturunkan untuk menjelaskan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, baik yang terjadi diantara seseama umat islam maupun antara umat islam dengan yang lain. Adapula yang dirunkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh umat kepada Rasulullah Saw.[1]
Ilmu yang membahas perihal asbab nuzul biasa disebut dengan ilmu asbab nuzul atau ilmu asbabin-nuzul. Akan halnya cabang ilmu-ilmu lain, ilmu asbabin-nuzul tumbuh dan berkembang secara evolusi dan alamiah. Maksudnya, berkembang sedikit demi sedikit  dan tidak pernah direkayasa apalagi dipaksakan.
Proses penurunan al-Qur’an tampak didesain deikiak rupa sehinga benar-benar susuai dengan kubutuhan umat manusia dalam memecahkan problema yang timbul diwaktu itu dan untuk dikenang seterusnya. Latar belakang dan situasi penurunan al-Qur’an inilah pada intinya yang kemudian mendorong para ahli ilmu-ilmu al-Qur’an berkrasi untuk melakukan penalaran terhadapnya dan merangkauinya menjadi teori keilmuan yang kemudian dikenal dengann asbabun-nuzul.[2]



B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Asbabun Nuzul?
2.      Bagaimana metode mengetahui Asbabun Nuzul?
3.      Apa hikmah mengetahui Asbabun Nuzul?
4.      Apa permasalahan yang berkaitan dengan Asbabun Nuzul?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui pengertian Asbabun Nuzul
2.      Mengetahui metode mengetahui Asbabun Nuzul
3.      Mengetahui hikmah mengetahui Asbabun Nuzul
4.      Mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan Asbabun Nuzul













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Asbabun Nuzul
Kata Ababun-Nuzul terdiri atas kata asbab dan an-nuzul. Asbab adalah kata jamak (plural) dari kata mufrad (tunggal) sabab, yang secara etimologis berarti sebab, alasan, illat (dasar logis), perantara, wasilah, pedorong (motivasi), tali kehidupan, persahabatan, hubungan kekeluargaan, kerabat, asal, sumber dan jalan.
Yang dimaksud dengan nuzul disini ialah penurunan al-Qur’an dari Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantara malaikat Jibril as. Karena itu istilah lengkap asalnya ialah Asbabun Nuzulil-Qur’an yang berarti sebab-sebab turun al-Qur’an.[3]
Ada beberapa rumusan yang dikemukakan para ahli ‘ilumul Qur’an. Diantaranya Manna’ al-Qaththan mendefinisikan, Sababun-Nuzul ialah sesuatu yang dengan keadaan sesuatu itu al-Qur’an diturunkan pada waktu sesuatu itu terjadi seperti suatu peristiwa atau pertanyaan.
Sedang Shubhi as-Shalih  mendifiniskan Sababun nuzul ialah sesuatu yang karena sesuatu itu menyebabkan satu atau beberapa ayat al-Qur’an diturunkan (dalam rangka) mengcover, menjawab atau menjelaskan hukumnya di saat sesuatu itu terjadi.
Dari definisi sabab nuzul diatas dafat diformulasikan bawha sabab nuzul ialah sesuatu yang karena sesuatu itu menyebabkan sebagian atau beberapa ayat al-Qur’an diturunkan. Yang dimaksud dengan susuatu itu sendiri adakalanya berbentuk pertanyaan dan kejadian, tetapi bisa juga berwujud alasan logis (illat) dan hal-hal lain yang revalen serta mendorong turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an.[4]

B.     Metode mengetahui Asbabun Nuzul
Adapun metode untuk mengetahui turunnya ayat-ayat Al-Qur’an adalah dengan menukil informasi yang diriwayatkan oleh para sahabat yang hidup sezaman dengan Rasulullah Saw. mereka adalah orang-orang yang mengetahui hal ihwal dan latar belakang yang mendasari turunnya ayat-ayat al-Qur’an, serta mendengar secara langsung dari beliau tentang segala sesuatu yang tidak didengar oleh orang lain yang berhubungan dengan asbabun nuzul. Di antara para sahabat tesebut, ada yang corcern terhadap ilmu ini. Misalnya, ada sahabat yang mengabarkan kepada kita bahwa ayat-ayat yang disebutkan para awal surat al-Mujaadilah merupakan ayat yang turun terkait dengan Sayyidah Khaulah binti Tsa’labah Ra. Kala itu, suami Sayyidah Khaulah binti Tsa’labah berkata kepadanya, “Bagiku, kamu seperti punggung ibuku.” Setelah mendengar ucapan tersebut, Sayyidah Khaulah binti Tsa’labah menemui Rasulullah Saw. dan mengadukan peristiwa yang terjadi antar ia dengan suaminya. Maka turunlah ayat berikut:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Mujaadilah {58]:1)
Dan, diantara para sahabat, ada yang menceritakan kisah sahabat yang telah masuk islam, namun kembali melakukan kesalahan/berbuat dosa berupa meminum khamar. Kemudian, mereka bertannya kepada Rasulullah Saw. tentang hukum meminum khamar. Lalu, beliau bersabda, “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami hukum meminum khamar secara jelas dan gamblang.” Maka, turunlah firman Allah Swt. berikut:
يَسْئَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَآإِثْمُُ كَبِيرُُ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya..” (QS.al-Baqarah [2]:219)[5]
Satu-satunya  jalan mengetahui Asbabun Nuzul ini hanyalah dengan periwayatan yang diterima dari ulama salaf. Setiap periwayatan mengandung unsur sahih dan tidak sahih (diterima dan ditolak). Oleh karena itu, dibutuhkan penyeleksian dengan cara menelusuri para rawinya yang dapat dipercaya, seperti halnya dalam perriwayatan hadits. Namun, dalam periwayatan Asbabun Nuzul, derajat yang paling tinggi adalah mauquf, tetapi hukumnya sama dengan marfu’ (al maufuq bi hukm al mafru) yang sampai kepada Nabi Muhammad Saw. oleh sebab itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa setiap Asbabun Nuzul yang diterima dari kalangan para sahabat wajib diterima, selama tidak ada riwayat yang lebih kuat yang melemahkannya. Oleh karena itu al-Wahidy mengatakan, “tidak dibenarkan membacakan sebab-sebab turunnya AL-Quran, kecuali melalui periwayatan dan mendengan dari orang-orang yang menyaksikan teurunnya ayat (itu) dan mereka mengetahui serta memahami sebab-sebab turunnya dan dan membahas pengertiannya.” (al-Syuythi, I, 1993: 99)
Sumber riwayat ini adalah para sahabat yang memilika semangat tinggi dalam mengikuti perjalana turunnya wahyu, intensitas keimanan yang inggi, serta kecintaan mereka kepada Nabi. Ketiga hal tersebut telah mendorong mereka untuk memberikan perhatian maksimal kepada apa yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Oleh sebab itu, sebagian sahabat seperti Ibn Mas’ud, Ali ibn Abi Thalib, dan yang lainnya mengatakan, “tidak suatu ayat pun diturunkan kecuali salah seorang diantara merka mengetahui tentang apa yang itu diturunkan, tentang kepada siapa ayat itu diturunkan dan dimana aya itu diturunkan.” Hal ini menunjukan betapatingginya semngat dan daya juan mereka dalam memperhatiakan turunnya wahyu.[6]

C.    Hikmah mengetahui asbabun nuzul
Adapun hikmah yang diperoleh dalam mengetahui Asbabun Nuzul dalam kaitannya dengan memahami makna daripada ayat-ayat suci Al-Qura’an antara lain adalah sebagai berikut :
1.       Mengetahui hikmah Allah secara yakin mengenai semua masallah yang disyariatkan melalui wahyu atau ayat-ayat yang dinuzulkannya, baik bagi orang yang suddah beriman maupun yang belum beriman. Misalnya, kasus ‘urwah biin al-Zubairah yang keliru memahami pengertian ayat 158 dari surat al-Baqarah, “Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi´ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber´umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan Sa´i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” Kekeliruannya terletak pada pemahamannya mengenai persyaratan tidak ada dosa baginnya (la junah ‘alayh).
Menurut pemahamann ‘Urwah, seseorang yang mengerjakan haji tanpa sya’i antara Syafa dan Marwah tidak apa-apa. Ia termemori oleh pengalaman di zaman jahiliyyah. Bahwa orang-orang di zaman jahiiliyyah beribadah kepada berhala yang bernama Isaf ada di Shafa dan patung Na’ilah yang ada di marwah. Untungnya Urwah ragu, ketika ia menyaksikan orang-orang muslim melakuukkan sya’i diantara dkedua bukit itu. Akhirnya, ia menghampiri Aisyah untuk mencari tahu persoalan itu. ‘Aisyah memberitahukan bahwa ayat tersebut dinuzulkan sehubungan dengan adanya orang Anshar, yang belum masuk Islam mereka selalu mondar-madndir diantara Shaf dan Marwah untuk menyembah berhala. Setelah masuk islam mereka bertanya kepada Nabi mengenai Sya’i. Maka Allah menuzulkan ayat diatas yang menyatakan bahwa sya’i itu tidak berdosa.
2.       Membantu memahami kandungan Al-Quran sekaligus menghilangkan keragu-raguan dalam memahaminya, disebabkan adanya kata yang menunjukan pembatas (hasr), seperti kata illa. Surat Al-An’am ayat 145, Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi--karena sesungguhnya semua itu kotor--atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Misalnya, menurut al-Syafi’i, bahwa pengertian dimaksud ayat ini tidaklah umum, karena ada hasr, illa. Untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan di dalam memahami ayat tersebut, beliau menggunakan ayat bantu asbab nuzul al-ayat.
Ayat diatas menurut al-syafi’i dinuzulkan sehubungan  orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali sesuatu yang telah mereka halalkan. Karena sudah menjadi kebiasaan ummat kaum Yahudi, mengharamkan apa saja yang dihalalkan oleh Allah, maka nuzullah ayat 145 dari surat al-An’am diatas untuk menetapkan pegharaman dan bukan untuk menetapkan penghalalan makanan yang tidak disebut ayat tersebut.
3.       Dapat mengkhusukan (takhshish) hukum pada sebab menurut Ulama yang memandang bahwa mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafazh. Oleh karena itu, ayat-ayat zhihar (penyerupaan istri pada ibunya) pada permulaan surat al-Mujadalah sebab nuzulnya adalah Aus bin ubn al-Shamut yang menziharkan istrinya, Khaulah bint Hakam Ibn al-Tsa’labah. Hukum yang terkandung dalam ini khusus bagi keduanya menurut pandang ini. Adapun hukum zihar yang dilakukan oleh selai mereka berdua dapat diketahuidalli qiyas (analogi) atau lainnya. Hal ini menunjukan bahwa seseorang tidak akan mengetahui hukumnya melalui iyas jika tidak mengetahui sebab nuzulnya.
4.       Dapat mengetahui bahwa  sebab nuzul ayat tidak pernah keluar dari hukum yang tekandung dari ayat tersbut kendati datang yang mengkhususkannya (mukhashish). Hal ini didasarkan atas konsesus (ijma) yang menyatakan bahwa hukum sebab tetap selama-lamanya. Dengan demikan, takhshish terbatas pada masalah diluar sebab. Sekiranya sebab nuzul tidak diketahui, tentu boleh dipahami. Sebab nuzul juga yang termasuk yang keluar dari hukum denga adanya takhshish. Padahal tidak belehnya mengeluarkan sebab dari hukum ayat yang lafaznya umum termasuk qath’i meurut ijma’. Sebagaimana dijumpa pada surat al-Nur ayat 23-25.
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. di hari itu, Allah akan memberi mereka Balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya)”
Ayat diatas dinuzulkan sasarannya ‘Aisyah, secara khusus atau seluruh istri-istri Nabi menurut riwayat Ibn ‘Abas. Allah tidak akan memberikan taubat kepada orang yang melakukan menuduh (berbuat zina). Akan tetapi, Allah akan memberikan taubat kepada orang yang menuduh perempuan mukmin selai istri-istri Nabi. Kemudian Ibn Abas membacakan ayat yang artinya:
“orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera. Dan janganlah kamu terimas kesaksian mereka untuk selama-lamannya dan mereka itulah orang-orang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah ia memperbaiki dirinya, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang” (QS, AN-Nur 4-5)
Berdasarkan keterangan ini, diterimanya taubat orang yang menuduh perempuan mukmin zina, sebagai yang disebutkan dalam surat Al-Nur ayat 4 dan 5, tidak dapat mencakup orang yang menuduh Aisyah dan Istri-istri nabi yang menjadi sebab nuzul ayat 23-25 dari surat al-Nur diatas. Sekiranya tidak diketahui sebab al-nuzulnya, maka ayat ini akan dipahami secara keliru.
5.       Membantu mempermudah penghafal dan pemahaman, disamping dapat membantu melekatkan ayat-ayat bersangkutan berada dalam hati setiap orang yang mendengarnya bila ayat-ayat ini dibacakan.[7]

D.    Berbagai permasalahan berkaitan Asbabun Nuzul
Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Beberapa Riwayat Mengenai (Asbabun Nuzul). Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan demikian, sikap seorang mufasir kepadanya sebagai berikut:
1.      Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, atau “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi di antara riwayat-riwayat itu. Sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzulnya.
2.      Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “Ayat ini turun mengenai urusan ini”. Sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas; dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat. Contohnya ialah riwayat tentang asbabun nuzul.[8]



















KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, Asbabun Nuzul ialah sesuatu yang karena sesuatu itu menyebabkan sebagian atau beberapa ayat al-Qur’an diturunkan. Yang dimaksud dengan susuatu itu sendiri adakalanya berbentuk pertanyaan dan kejadian, tetapi bisa juga berwujud alasan logis (illat) dan hal-hal lain yang revalen serta mendorong turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an.
Satu-satunya  jalan mengetahui Asbabun Nuzul ini hanyalah dengan periwayatan yang diterima dari ulama salaf. Setiap periwayatan mengandung unsur sahih dan tidak sahih (diterima dan ditolak). Oleh karena itu, dibutuhkan penyeleksian dengan cara menelusuri para rawinya yang dapat dipercaya, seperti halnya dalam perriwayatan hadits.
Adapun hikmah yang diperoleh dalam mengetahui Asbabun Nuzul: mengetahui hikmah Allah secara yakin mengenai semua masallah yang disyariatkan melalui wahyu atau ayat-ayat yang dinuzulkannya, baik bagi orang yang suddah beriman maupun yang bellum beriman,membantu memahami kandungan Al-Quran sekaligus menghilangkan keragu-raguan dalam memahaminya, disebabkan adanya kata yang menunjukan pembatas (hasr), seperti kata illa, dapat mengkhusukan (takhshish) hukum pada sebab menurut Ulama yang memandang bahwa mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafazh, dapat mengetahui bahwa  sebab nuzul ayat tidak pernah keluar dari hukum yang tekandung dari ayat tersbut kendati datang yang mengkhususkannya (mukhashish), membantu mempermudah penghafal dan pemahaman, disamping dapat membantu melekatkan ayat-ayat bersangkutan berada dalam hati setiap orang yang mendengarnya bila ayat-ayat ini dibacakan.

DAFTAR PUSTAKA
Thanthawi ,Muhammad Sayyid. 2013. Ulumul Qur’an Teori & Metodologi. IRCiSoD.

Suma, Muhammad Amin. 2004. Studi Ilmu-ilmu Al-Quran. Pustaka Firdaus.
Supiana. Karman. 2002. Ulumul Quran. Bandung : Pustaka Islamika
Zainudin, Muhammada. 2005. Metode Memahami Al-Quran. Bandung : Khazanah Itelektual


[1] Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Ulumul Qur’an Teori & Metodologi, IRCiSoD, 2013, hlm 87
[2] Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, MA. SH. Studi Ilmu-ilmu Al-Quran. Pustaka Firdaus. 2004. Hlm 107
[3] Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, MA. SH. Studi Ilmu-ilmu Al-Quran. Pustaka Firdaus. 2004. Hlm 100 (Jakarta)
[4] Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, MA. SH. Studi Ilmu-ilmu Al-Quran. Pustaka Firdaus. 2004. Hlm 101 dan 102
[5] Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Ulumul Qur’an Teori & Metodologi, IRCiSoD, 2013,hlm 89
[6] Drs. H. Muhammada Zainudin, Lc., Dipl., M.H., Metode Memahami Al-Quran,Khazanah  Itelektual, 2005, hlm 56 (bandung)
[7] Supiana M.Ag, M. Karman, M.Ag, Ulumul Quran, Pustaka Islamika, 2002, hlm 136 (bandung)
[8] http://adamakalah.blogspot.com/2013/01/makalah-asbabun-nuzuul.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar