BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah Saw. dalam kurun waktu
sekitar 23 tahun. Adapun tujuan diturunkannya kitab suci ini adalah untuk
mengeluarkan dan menyelamatkan manusia dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya kebenaran
Islam.
Kebanyakan ayat dan surat Al-Quran diturunkan untuk memberikan
petunjuk serta kebahagian bagi umat manusia pada masa itu dan masa yang akan
datang. Sebagian dari ayat Al-Qur’an, ada yang diturunkan untuk menjelaskan
terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, baik yang terjadi diantara seseama
umat islam maupun antara umat islam dengan yang lain. Adapula yang dirunkan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh umat kepada
Rasulullah Saw.[1]
Ilmu yang membahas perihal asbab nuzul biasa disebut dengan ilmu
asbab nuzul atau ilmu asbabin-nuzul. Akan halnya cabang ilmu-ilmu lain, ilmu
asbabin-nuzul tumbuh dan berkembang secara evolusi dan alamiah. Maksudnya,
berkembang sedikit demi sedikit dan tidak
pernah direkayasa apalagi dipaksakan.
Proses penurunan al-Qur’an tampak didesain deikiak rupa sehinga
benar-benar susuai dengan kubutuhan umat manusia dalam memecahkan problema yang
timbul diwaktu itu dan untuk dikenang seterusnya. Latar belakang dan situasi
penurunan al-Qur’an inilah pada intinya yang kemudian mendorong para ahli
ilmu-ilmu al-Qur’an berkrasi untuk melakukan penalaran terhadapnya dan
merangkauinya menjadi teori keilmuan yang kemudian dikenal dengann
asbabun-nuzul.[2]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah
pengertian Asbabun Nuzul?
2.
Bagaimana
metode mengetahui Asbabun Nuzul?
3.
Apa
hikmah mengetahui Asbabun Nuzul?
4.
Apa
permasalahan yang berkaitan dengan Asbabun
Nuzul?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian Asbabun Nuzul
2.
Mengetahui
metode mengetahui Asbabun Nuzul
3.
Mengetahui
hikmah mengetahui Asbabun Nuzul
4.
Mengetahui
permasalahan yang berkaitan dengan Asbabun Nuzul
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Asbabun Nuzul
Kata Ababun-Nuzul terdiri atas kata asbab dan an-nuzul. Asbab adalah kata jamak
(plural) dari kata mufrad (tunggal) sabab, yang secara etimologis berarti
sebab, alasan, illat (dasar logis),
perantara, wasilah, pedorong (motivasi), tali kehidupan, persahabatan, hubungan
kekeluargaan, kerabat, asal, sumber dan jalan.
Yang dimaksud
dengan nuzul disini ialah penurunan al-Qur’an dari Allah Swt kepada Nabi
Muhammad Saw melalui perantara malaikat Jibril as. Karena itu istilah lengkap
asalnya ialah Asbabun Nuzulil-Qur’an
yang berarti sebab-sebab turun al-Qur’an.[3]
Ada beberapa
rumusan yang dikemukakan para ahli ‘ilumul Qur’an. Diantaranya Manna’
al-Qaththan mendefinisikan, Sababun-Nuzul ialah sesuatu yang dengan keadaan
sesuatu itu al-Qur’an diturunkan pada waktu sesuatu itu terjadi seperti suatu
peristiwa atau pertanyaan.
Sedang Shubhi
as-Shalih mendifiniskan Sababun nuzul ialah sesuatu yang karena
sesuatu itu menyebabkan satu atau beberapa ayat al-Qur’an diturunkan (dalam
rangka) mengcover, menjawab atau menjelaskan hukumnya di saat sesuatu itu
terjadi.
Dari definisi
sabab nuzul diatas dafat diformulasikan bawha sabab nuzul ialah sesuatu yang
karena sesuatu itu menyebabkan sebagian atau beberapa ayat al-Qur’an
diturunkan. Yang dimaksud dengan susuatu itu sendiri adakalanya berbentuk
pertanyaan dan kejadian, tetapi bisa juga berwujud alasan logis (illat) dan
hal-hal lain yang revalen serta mendorong turunnya satu atau beberapa ayat
al-Qur’an.[4]
B.
Metode mengetahui Asbabun Nuzul
Adapun metode
untuk mengetahui turunnya ayat-ayat Al-Qur’an adalah dengan menukil informasi
yang diriwayatkan oleh para sahabat yang hidup sezaman dengan Rasulullah Saw.
mereka adalah orang-orang yang mengetahui hal ihwal dan latar belakang yang
mendasari turunnya ayat-ayat al-Qur’an, serta mendengar secara langsung dari
beliau tentang segala sesuatu yang tidak didengar oleh orang lain yang
berhubungan dengan asbabun nuzul. Di antara para sahabat tesebut, ada yang
corcern terhadap ilmu ini. Misalnya, ada sahabat yang mengabarkan kepada kita
bahwa ayat-ayat yang disebutkan para awal surat al-Mujaadilah merupakan ayat
yang turun terkait dengan Sayyidah Khaulah binti Tsa’labah Ra. Kala itu, suami
Sayyidah Khaulah binti Tsa’labah berkata kepadanya, “Bagiku, kamu seperti
punggung ibuku.” Setelah mendengar ucapan tersebut, Sayyidah Khaulah binti
Tsa’labah menemui Rasulullah Saw. dan mengadukan peristiwa yang terjadi antar
ia dengan suaminya. Maka turunlah ayat berikut:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي
إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Artinya: “Sesungguhnya Allah
telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang
suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab
antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS. Al-Mujaadilah {58]:1)
Dan, diantara
para sahabat, ada yang menceritakan kisah sahabat yang telah masuk islam, namun
kembali melakukan kesalahan/berbuat dosa berupa meminum khamar. Kemudian,
mereka bertannya kepada Rasulullah Saw. tentang hukum meminum khamar. Lalu,
beliau bersabda, “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami hukum meminum khamar secara
jelas dan gamblang.” Maka, turunlah firman Allah Swt. berikut:
يَسْئَلُونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَآإِثْمُُ كَبِيرُُ وَمَنَافِعُ
لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
Artinya: “Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya..” (QS.al-Baqarah [2]:219)[5]
Satu-satunya jalan mengetahui Asbabun Nuzul ini hanyalah
dengan periwayatan yang diterima dari ulama salaf. Setiap periwayatan
mengandung unsur sahih dan tidak sahih (diterima dan ditolak). Oleh karena itu,
dibutuhkan penyeleksian dengan cara menelusuri para rawinya yang dapat
dipercaya, seperti halnya dalam perriwayatan hadits. Namun, dalam periwayatan
Asbabun Nuzul, derajat yang paling tinggi adalah mauquf, tetapi hukumnya sama
dengan marfu’ (al maufuq bi hukm al mafru) yang sampai kepada Nabi Muhammad
Saw. oleh sebab itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa setiap Asbabun Nuzul
yang diterima dari kalangan para sahabat wajib diterima, selama tidak ada
riwayat yang lebih kuat yang melemahkannya. Oleh karena itu al-Wahidy
mengatakan, “tidak dibenarkan membacakan sebab-sebab turunnya AL-Quran, kecuali
melalui periwayatan dan mendengan dari orang-orang yang menyaksikan teurunnya
ayat (itu) dan mereka mengetahui serta memahami sebab-sebab turunnya dan dan
membahas pengertiannya.” (al-Syuythi, I, 1993: 99)
Sumber riwayat
ini adalah para sahabat yang memilika semangat tinggi dalam mengikuti perjalana
turunnya wahyu, intensitas keimanan yang inggi, serta kecintaan mereka kepada
Nabi. Ketiga hal tersebut telah mendorong mereka untuk memberikan perhatian
maksimal kepada apa yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Oleh sebab itu, sebagian
sahabat seperti Ibn Mas’ud, Ali ibn Abi Thalib, dan yang lainnya mengatakan,
“tidak suatu ayat pun diturunkan kecuali salah seorang diantara merka
mengetahui tentang apa yang itu diturunkan, tentang kepada siapa ayat itu
diturunkan dan dimana aya itu diturunkan.” Hal ini menunjukan betapatingginya
semngat dan daya juan mereka dalam memperhatiakan turunnya wahyu.[6]
C.
Hikmah mengetahui asbabun nuzul
Adapun hikmah
yang diperoleh dalam mengetahui Asbabun Nuzul dalam kaitannya dengan memahami
makna daripada ayat-ayat suci Al-Qura’an antara lain adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui hikmah Allah secara yakin mengenai semua masallah yang
disyariatkan melalui wahyu atau ayat-ayat yang dinuzulkannya, baik bagi orang
yang suddah beriman maupun yang belum beriman. Misalnya, kasus ‘urwah biin
al-Zubairah yang keliru memahami pengertian ayat 158 dari surat al-Baqarah,
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi´ar Allah. Maka
barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber´umrah, maka tidak ada
dosa baginya mengerjakan Sa´i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri
kebaikan lagi Maha Mengetahui.” Kekeliruannya terletak pada pemahamannya mengenai
persyaratan tidak ada dosa baginnya (la junah ‘alayh).
Menurut pemahamann ‘Urwah, seseorang yang mengerjakan haji tanpa
sya’i antara Syafa dan Marwah tidak apa-apa. Ia termemori oleh pengalaman di zaman
jahiliyyah. Bahwa orang-orang di zaman jahiiliyyah beribadah kepada berhala
yang bernama Isaf ada di Shafa dan patung Na’ilah yang ada di marwah. Untungnya
Urwah ragu, ketika ia menyaksikan orang-orang muslim melakuukkan sya’i diantara
dkedua bukit itu. Akhirnya, ia menghampiri Aisyah untuk mencari tahu persoalan
itu. ‘Aisyah memberitahukan bahwa ayat tersebut dinuzulkan sehubungan dengan
adanya orang Anshar, yang belum masuk Islam mereka selalu mondar-madndir
diantara Shaf dan Marwah untuk menyembah berhala. Setelah masuk islam mereka
bertanya kepada Nabi mengenai Sya’i. Maka Allah menuzulkan ayat diatas yang
menyatakan bahwa sya’i itu tidak berdosa.
2.
Membantu
memahami kandungan Al-Quran sekaligus menghilangkan keragu-raguan dalam
memahaminya, disebabkan adanya kata yang menunjukan pembatas (hasr), seperti kata
illa. Surat Al-An’am ayat 145, “Katakanlah:
“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi--karena sesungguhnya semua
itu kotor--atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa
yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Misalnya, menurut al-Syafi’i, bahwa pengertian dimaksud ayat ini
tidaklah umum, karena ada hasr, illa. Untuk mengatasi kemungkinan adanya
keraguan di dalam memahami ayat tersebut, beliau menggunakan ayat bantu asbab
nuzul al-ayat.
Ayat diatas menurut al-syafi’i dinuzulkan sehubungan orang-orang kafir yang tidak mau memakan
sesuatu, kecuali sesuatu yang telah mereka halalkan. Karena sudah menjadi
kebiasaan ummat kaum Yahudi, mengharamkan apa saja yang dihalalkan oleh Allah,
maka nuzullah ayat 145 dari surat al-An’am diatas untuk menetapkan pegharaman
dan bukan untuk menetapkan penghalalan makanan yang tidak disebut ayat
tersebut.
3. Dapat mengkhusukan (takhshish) hukum pada sebab menurut Ulama yang
memandang bahwa mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab, bukan keumuman
lafazh. Oleh karena itu, ayat-ayat zhihar (penyerupaan istri pada ibunya)
pada permulaan surat al-Mujadalah sebab nuzulnya adalah Aus bin ubn al-Shamut
yang menziharkan istrinya, Khaulah bint Hakam Ibn al-Tsa’labah. Hukum yang
terkandung dalam ini khusus bagi keduanya menurut pandang ini. Adapun hukum
zihar yang dilakukan oleh selai mereka berdua dapat diketahuidalli qiyas
(analogi) atau lainnya. Hal ini menunjukan bahwa seseorang tidak akan mengetahui
hukumnya melalui iyas jika tidak mengetahui sebab nuzulnya.
4. Dapat mengetahui bahwa sebab
nuzul ayat tidak pernah keluar dari hukum yang tekandung dari ayat tersbut
kendati datang yang mengkhususkannya (mukhashish). Hal ini didasarkan atas
konsesus (ijma) yang menyatakan bahwa hukum sebab tetap selama-lamanya. Dengan
demikan, takhshish terbatas pada masalah diluar sebab. Sekiranya sebab nuzul
tidak diketahui, tentu boleh dipahami. Sebab nuzul juga yang termasuk yang
keluar dari hukum denga adanya takhshish. Padahal tidak belehnya mengeluarkan
sebab dari hukum ayat yang lafaznya umum termasuk qath’i meurut ijma’.
Sebagaimana dijumpa pada surat al-Nur ayat 23-25.
“Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman
(berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab
yang besar, pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi
atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. di hari itu, Allah akan
memberi mereka Balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa
Allah-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat
yang sebenarnya)”
Ayat diatas dinuzulkan sasarannya ‘Aisyah, secara khusus atau
seluruh istri-istri Nabi menurut riwayat Ibn ‘Abas. Allah tidak akan memberikan
taubat kepada orang yang melakukan menuduh (berbuat zina). Akan tetapi, Allah
akan memberikan taubat kepada orang yang menuduh perempuan mukmin selai
istri-istri Nabi. Kemudian Ibn Abas membacakan ayat yang artinya:
“orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera. Dan janganlah kamu terimas kesaksian
mereka untuk selama-lamannya dan mereka itulah orang-orang fasik, kecuali
orang-orang yang bertaubat sesudah ia memperbaiki dirinya, maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang” (QS,
AN-Nur 4-5)
Berdasarkan keterangan ini, diterimanya taubat orang yang menuduh
perempuan mukmin zina, sebagai yang disebutkan dalam surat Al-Nur ayat 4 dan 5,
tidak dapat mencakup orang yang menuduh Aisyah dan Istri-istri nabi yang
menjadi sebab nuzul ayat 23-25 dari surat al-Nur diatas. Sekiranya tidak
diketahui sebab al-nuzulnya, maka ayat ini akan dipahami secara keliru.
5. Membantu mempermudah penghafal dan pemahaman, disamping dapat
membantu melekatkan ayat-ayat bersangkutan berada dalam hati setiap orang yang
mendengarnya bila ayat-ayat ini dibacakan.[7]
D.
Berbagai permasalahan berkaitan Asbabun Nuzul
Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Beberapa Riwayat Mengenai (Asbabun
Nuzul). Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat.
Dalam keadaan demikian, sikap seorang mufasir kepadanya sebagai berikut:
1. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “Ayat ini
turun mengenai urusan ini”, atau “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan
ini”, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi di antara riwayat-riwayat itu.
Sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa
hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan
sebab nuzul, kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat
bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzulnya.
2. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “Ayat
ini turun mengenai urusan ini”. Sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab
nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi
pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas; dan riwayat
yang lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat. Contohnya ialah riwayat
tentang asbabun nuzul.[8]
KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas, Asbabun Nuzul ialah sesuatu yang karena
sesuatu itu menyebabkan sebagian atau beberapa ayat al-Qur’an diturunkan. Yang
dimaksud dengan susuatu itu sendiri adakalanya berbentuk pertanyaan dan
kejadian, tetapi bisa juga berwujud alasan logis (illat) dan hal-hal lain yang
revalen serta mendorong turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an.
Satu-satunya jalan mengetahui Asbabun Nuzul ini hanyalah
dengan periwayatan yang diterima dari ulama salaf. Setiap periwayatan
mengandung unsur sahih dan tidak sahih (diterima dan ditolak). Oleh karena itu,
dibutuhkan penyeleksian dengan cara menelusuri para rawinya yang dapat dipercaya,
seperti halnya dalam perriwayatan hadits.
Adapun hikmah yang diperoleh dalam
mengetahui Asbabun Nuzul: mengetahui hikmah Allah secara yakin mengenai semua
masallah yang disyariatkan melalui wahyu atau ayat-ayat yang dinuzulkannya,
baik bagi orang yang suddah beriman maupun yang bellum beriman,membantu memahami kandungan Al-Quran
sekaligus menghilangkan keragu-raguan dalam memahaminya, disebabkan adanya kata
yang menunjukan pembatas (hasr), seperti kata illa, dapat mengkhusukan (takhshish) hukum pada sebab menurut Ulama
yang memandang bahwa mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab, bukan keumuman
lafazh, dapat mengetahui bahwa sebab nuzul
ayat tidak pernah keluar dari hukum yang tekandung dari ayat tersbut kendati
datang yang mengkhususkannya (mukhashish), membantu mempermudah penghafal dan
pemahaman, disamping dapat membantu melekatkan ayat-ayat bersangkutan berada
dalam hati setiap orang yang mendengarnya bila ayat-ayat ini dibacakan.
DAFTAR PUSTAKA
Thanthawi
,Muhammad Sayyid. 2013. Ulumul Qur’an
Teori & Metodologi. IRCiSoD.
Suma, Muhammad Amin. 2004. Studi Ilmu-ilmu Al-Quran. Pustaka
Firdaus.
Supiana. Karman. 2002. Ulumul
Quran. Bandung : Pustaka Islamika
Zainudin, Muhammada. 2005. Metode
Memahami Al-Quran. Bandung : Khazanah Itelektual
[1] Dr.
Muhammad Sayyid Thanthawi, Ulumul Qur’an Teori & Metodologi, IRCiSoD, 2013,
hlm 87
[2] Prof.
Dr. Muhammad Amin Suma, MA. SH. Studi Ilmu-ilmu Al-Quran. Pustaka Firdaus.
2004. Hlm 107
[3] Prof.
Dr. Muhammad Amin Suma, MA. SH. Studi Ilmu-ilmu Al-Quran. Pustaka Firdaus.
2004. Hlm 100 (Jakarta)
[4] Prof.
Dr. Muhammad Amin Suma, MA. SH. Studi Ilmu-ilmu Al-Quran. Pustaka Firdaus.
2004. Hlm 101 dan 102
[5] Dr.
Muhammad Sayyid Thanthawi, Ulumul Qur’an Teori & Metodologi, IRCiSoD,
2013,hlm 89
[6] Drs. H.
Muhammada Zainudin, Lc., Dipl., M.H., Metode Memahami Al-Quran,Khazanah Itelektual, 2005, hlm 56 (bandung)
[7] Supiana
M.Ag, M. Karman, M.Ag, Ulumul Quran, Pustaka Islamika, 2002, hlm 136 (bandung)
[8] http://adamakalah.blogspot.com/2013/01/makalah-asbabun-nuzuul.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar